Kamis, 25 Desember 2008

clubbing,tablets,and free sex

KLUB-KLUB DI JAKARTA: ajang narkoba, seks bebas dan pelarian sepanjang malam di akhir pekan. Sarang hedonisme dan pesta seks bercahaya neon (atau bahkan tanpa cahaya sama sekalil!). Sebuah tempat di mana golongan kaya bergesekan dengan kalangan yang lebih merakyat. Bagian terselubung dari sebuah kota yang korup dan terus berhentak, serta memiliki pengaruh yang melampaui batas-batas Indonesia. Konon, banyak petualang kaya asal Singapura yang terbang ke Jakarta pada akhir pekan khusus untuk ber-dugem ria. Di kota megah ini, mereka dapat kabur dari negara mereka yang ketat, dan bersenang-senang di sebuah tempat di mana hukum seputar narkoba dan kesusilaan lebih longgar, hukum yang dapat dibeli dengan uang, serta petualangan akhir pekan yang tiada akhirnya.

Kultur disko/clubbing lahir pada akhir dekade 80-an di Eropa. Kemajuan dalam teknologi suara sintetis dan narkoba melahirkan music techno/house dan budaya ekstasi. Klub-klub di Ibiza, Italia dan London menjadi surga berdenyut musik elektronika. Tahun 1988 dijuluki summer of love kedua di London. Jika dekade 60-an memiliki psychedelic era dan acid rock, yang memunculkan mariyuana dan LSD sebagai primadonanya, serta punk rock pada dekade 70-an dengan heroin sebagai makanan sehari-hari, maka terjadi pergolakan baru dalam kultur kawula muda pada dekade 80-an. Sebuah scene baru muncul dengan fondasi musik elektronik, serta membuat takut para politikus dan ortang tua. Pesta dansa ilegal merebak dan ekstasi menjadi narkoba pilihan di dunia baru ini. Scene ini mulai keluar dari bawah tanah pada dekade 90-an. Seiring dengan bertambahnya popularitas, musik ini juga berevolusi – dari house ke trance, lalu hardcore, jungle, progressive dan drum & bass.

Budaya clubbing baru ini mulai mewabah ke seluruh dunia. Amerika Serikat tampaknya kurang menyambut musik ini dan tetap setia dengan band rock kuno, grunge, rap, R&B, serta hip-hop. Namun musik house serasa menemukan rumah baru di Indonesia. Kecenderungan masyarakat Indonesia ke arah hedonisme komunal, serta ikatan batin dengan Belanda berkat masa penjajahan (yang melahirkan hubungan dengan pusat produksi obat terlarang di Amsterdam) menjadi penyebabnya. Sekitar tahun 1995, muncullah summer of love ala Batavia. Negara ini dibanjiri oleh pil-pil setan, dan klub-klub yang sebelumnya lebih kalem dipenuhi oleh orang-orang teler dan kegirangan, yang menikmati musik baru ini. Semuanya ini terjadi sebelum krismon, di mana Soeharto masih berkuasa dan Indonesia masih merupakan “Macan Asia”. Tempat klub-klub ini menghasilkan rupiah yang berlimpah, dan tempat-tempat hiburan yang lebih mewah dibangun.

Klub-klub seperti Zodiak, Terminal One, Hailai, M Club, B1 dan Poster CafĂ© menjadi penuh sesak. Para promotor mengeksploitasi harga tanah yang lebih murah dan hukum yang lebih longgar daripada di negara-nnegara Eropa untuk membangun tempat-tempat clubbing raksasa yang buka non-stop sepanjang akhir pekan, sebuah hal yang hampir mustahil ditemukan di Eropa. Hingga dibakar dalam kerusuhan tahun ’98 lalu, luas Zodiak meliputi seluruh lantai atas Plaza Glodok, namun tetap penuh setiap malam. Berapa banyak orang yang memadatinya pada waktu yang sama? 5.000? 10.000? Tinggal dikalikan dengan cover charge sebesar Rp 25.000. Kata-kata seperti “tripping” dan “BT” menjadi bagian dari kosa kata bahasa sehari-hari. “Sik Asyik Asyik! Nak Enak Enak!” menjadi slogan yang dijeritkan para pengunjung. Kaset-kaset kompilasi buatan lokal dirilis di toko-toko dan diputar di mana-mana. Jakarta sedang giting, tipsy. Penenggak ekstasi berasal dari semua lapisan masyarakat – sopir taksi, polisi, anak sekolahan, kerabat di balik tembok Cendana, sampai ibu-ibu rumah tangga yang gemar creambath di salon.

Ekstasi atau kenikmatan adalah obat bernama MDMA (3,4 Methylenedioxy-N-Methylamphetamine), popularitasnya dirintis sejak pertengahan tahun 1980-an, sama dengan lahirnya house music. Dibeli orang yang ingin mencari kenikmatan. Seiring dengan perkembangannya, ekstasi tidak hanya mengandung MDMA, di Indonesia sendiri pil ini sering diracik bersama shabu-shabu alias crytal meth (sebuah turunan dari amphetamine yang tidak sebanding dengan ekstasi, membuat sakit kepala dan adiksi serta dapat menyebabkan depresi dan schizophrenia) sampai parasetamol sekalipun. Satu-satunya upaya waspada yang bisa diambil oleh konsumen ekstasi adalah menanyakan nama pil ekstasi pada sumbernya. Nama pil ekstasi bermacam-macam dan memberi efek yang berbeda. Seperti layaknya parasetamol yang generik dosis per pil berkisar 100 – 150 mg. Biasanya dikonsumsi pertahap, ¼ atau ½ kemudian bertambah. Efek psikis dari pil ini menurunnya ego; hilang rasa takut secara neurotik; tumbuhnya rasa cinta dan empathy terhadap sesama; tidak ada efek halusinasi seperti obat psikotropika lainnya (kecuali sudah dicampur dengan LSD atau PCP); juga kemudahan berkomunikasi. Jantung berdetak lebih cepat, pendengaran terfilterisasi, nafsu makan berkurang, tenggorokan kering, mengencangnya rahang, dan rasa lelah pasca konsumsi. Efek demikian bisa diraih dalam 30 – 60 menit setelah dikonsumsi, bisa bertahan selama 2 – 3 jam, jika digunakan secara repetitif efek bisa bertahan sampai 6 jam.

Scene ini memuncak selama beberapa tahun, lalu mulai mereda kembali. Berbagai kampanye anti-narkoba dilancarkan. Bahkan Guruh Sukarno Putra – adik Megawati – ikut-ikutan dengan merilis sebuah album “house” (tolong perhatikan tanda kutipnya) yang berjudul NT XTC (Anti Ekstasi). Ini tergolong salah satu album terburuk sepanjang sejarah musik rekaman di Indonesia, bahkan lebih nista ketimbang album karaoke-nya Wiranto. Propaganda anti-narkoba ini tidak begitu membawa dampak. Lain halnya dengan peristiwa-peristiwa sepanjang tahun 1998. Akibat kerusuhan dan krisis moneter, uang teler masyarakat berkurang drastis. Budaya clubbing di Jakarta menjadi lebih adem. Namun klub-klub di Jakarta sudah terlanjur berubah selamanya.

Pada suatu ketika, produser musik dangdut menciptakan musik house Asia versi mereka sendiri, yang cenderung lebih nge-pop. Musik ini lebih menyerupai musik techno gadungan yang menyedihkan, namun dapat disimak di banyak klub-klub terkemuka di Jakarta saat ini. Di sini, para ABG yang kenyang ekstasi bergoyang diiringi musik anak-anak ala house dangdut yang bertempo terlalu tinggi. Tapi musik techno dan trance Eropa yang bermutu masih dapat ditemukan di berbagai klub di seputar kota.

Selama lima tahun belakangan ini, Stadium – sebuah istana teler berlantai empat di tengah wilayah Kota – merupakan diskotek paling angker. Pintunya tak pernah tutup di akhir pekan, dan musiknya tak pernah berhenti. Narkoba dan wanita-wanita pencinta seks dapat ditemui begitu masuk, dan suara musik menggenjot tiada henti. Setelah beberapa jam, suasana lebih menyerupai halusinasi. Setelah jam 4 pagi, setelah klub-klub lain tutup, semua clubbers berduyun-duyun menuju Stadium untuk tempat teler terakhir. Masih banyak klub di wilayah Kota, seperti Sydney 2000, Gudang, 1001, Hailai dan Millenium. Millenium (yang terletak di atas Plaza Gajah Mada) sangat digandrungi, isinya para pemabuk di bawah umur. Sayangnya musiknya sangat buruk, yaitu musik anak-anak dengan kecepatan 180 bpm, yang menambah nuansa pedofilia di tempat ini.

Tidak ada komentar: