Kamis, 25 Desember 2008

pro and contra about clubbing in indonesia

Wacana berikut adalah saduran bahasa Indonesia dari artikel bertajuk Indonesia’s Dance Culture: The Society’s Scapegoat. Artikel diterjemahkan secara sukarela oleh Michael Halim. Penulis banyak mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang telah menyumbangkan opini, referensi dan juga untuk Michael Halim sebagai penerjemah. Semoga bermanfaat!

Mengenai budaya clubbing dan rave Indonesia

Beberapa bulan lalu, saya mengikuti diskusi di sebuah forum yang dibentuk sebagai sarana komunikasi antar clubber Indonesia, dimana terdapat satu isu yang terus terangkat ke permukaan: “educating the crowd”. Yang terjadi adalah, beberapa DJ dan clubber sedikit terganggu dengan bagaimana pengunjung di klub bersikap. Audiens klub saat ini tampaknya menjadikan dance scene sebagai pembenaran pelecehan seksual, penggunaan narkoba, atau tempat transaksi ilegal dalam berbagai bentuk. Tidak ada yang baru dalam hal ini. Akan tetapi isu ini layak untuk diperhatikan secara serius sebagai salah satu budaya urban.

Crowds in Jakarta Movement 2005Budaya clubbing dan rave di Indonesia dimulai sebagai gerakan underground, bertempat di klub-klub kecil di Jakarta sekitar tahun 1996. Pada tahun 2002, raver Indonesia memulai gelaran rave outdoor dan pantai, mengusung label internasional seperti Cream, Gatecrasher, Godskitchen, dan Heineken Thirst. Berbagai acara rave seperti Jakarta Movement, Lost Chapter, Aquasonic, dan lain-lain pun tercatat sbegai bagian dari festival musik lokal. Semenjak itu pula jumlah club, event organizer, manajemen DJ, dan penikmat musik elektronika meningkat secara signifikan dari sekitar tahun 2000 hingga detik ini. Jenis musik-baik yang dimainkan oleh DJ atau dimainkan secara live meliputi trance, electro, progressive, tribal, drum n bass, new wave, dan sub-genre lainnya dengan “rave-ambiance” sejenis –tentu saja dengan batasan BPM (beat per minute).

Beberapa tahun terakhir, sejumlah DJ internasional, produser, dan musisi yang telah tampil di event-event besar di Indonesia, seperti Tiesto, Armin van Buuren, Prodigy, Sasha, Marco V, Jazzy Jeff, BT, Randy Katana, Sander van Doorn, John Digweed, Solarstone, Junkie XL, King Unique, Chris Lawrence, Gareth Emery, Andy Moor, dan sejumlah nama lain yang bisa ditambahkan ke dalam daftar di atas. Sebagai tambahan, ketika DJ internasional tampil, raver Indonesia dikenal sebagai salah satu audiens paling antusias di dunia.

Dalam menikmati suasana, raver Indonesia mengadaptasi idealisme Peace, Love, Unity, and Respect dan mereka mempromosikan ide “Support Your Local DJ” menjadi terminologinya. “Support Your Local DJ” mendasari perkembangan DJ dan musisi elektronika di Indonesia dari segi kualitas, teknologi, keahlian, dan mental untuk berekspansi dan mengaktualisasikan diri baik secara nasional maupun global.

Ada beberapa klub yang secara internasional sudah dikenal di Indonesia seperti Embassy atau Wonderbar (Jakarta), Stadium (Jakarta), dan Double Six (Bali) yang pernah direview oleh Mixmag sebagai salah satu klub terbaik di dunia. Jenis tempat bervariasi mulai dari pantai, klub, bukit, pelataran parkir, bahkan hanggar pesawat. Dan bagian terbaik dari rave scene Indonesia adalah Tiesto: In the Search of Sunrise IV (Pantai Carnival, Ancol, Jakarta) yang sukses mengumpulkan lebih dari 20.000 raver dari seluruh penjuru negeri, dan juga pengakuan Tiesto secara pribadi untuk raver Indonesia yang sangat bersemangat dan antusias.

Baiklah. Sampai saat ini, Anda mungkin menganggap budaya ini hanyalah tren belaka atau sebuah produk lain dari budaya pop yang dilebih-lebihkan. Namun, jikalau ada sesuatu yang unik tentang kultur rave dan dance di Indonesia, adalah kenyataan bahwa citranya yang telah menciptakan persepsi multidimensi dalam masyarakat, dan bahwa pelaku kultur itu sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan citra tersebut.

Lagipula, sesuatu yang disebut ‘tren’ tidak akan bertahan hampir 10 tahun lamanya.

Ini adalah ringkasan pendapat masyarakat dan pandangan mereka mengenai budaya clubbing, dance, dan rave di Indonesia –khususnya di Jakarta:

Pertama, budaya ini dilihat sebagai ciptaan masyarakat, sebuah pengakuan bahwa masyarakat mempunyai kemapanan secara finansial untuk kebutuhan sekunder dan subordinat. Dengan tingginya statistik untuk konsumen berada di level “non-tax paying”, sebagian besar pemasar komersil dan perencana retail menggunakan ini sebagai potensi pasar yang besar; pengiklan juga menggunakan ilustrasi yang diasosiasikan dengan kuat ke budaya ini. Harap diingat ketika dikatakan konsumen berada di level “non-tax paying”, itu adalah istilah ekonomi belaka untuk: mereka adalah remaja, setidaknya sebagian besar dari mereka.

Pandangan kedua menganggap bahwa kultur malam adalah alat peer-pressure dimana mereka mempelajari suatu susunan nilai yang baru, bukan pada apa yang benar atau salah, tetapi lebih kemampuan mereka mengikuti perkembangan jaman. Dalam kalimat saya sendiri, ini adalah saat dimana mereka berkembang dan menjalani kehidupan yang sesuangguhnya. Pilihan mereka sendiri terpapar di depan mereka: apakah mereka mau mengkonsumsi ekstasi, minum alkohol sampai ‘tepar’, menemukan cinta, atau hanya mendengarkan musik, atau mungkin menghabiskan uang mereka. Pilihan itu ada di tangan mereka sendiri, dan apapun yang mereka pilih, apapun konsekuensi yang mereka ambil, itu akan membentuk karakter mereka. Saya sendiri setuju dengan anggapan ini karena hidup dipelajari terbaik dengan menjalankannya, dan juga dengan membuat kesalahan.

Yang terakhir adalah persepsi yang akan saya angkat dalam wacana ini, budaya ini juga telah menjadi “kambing hitam” dalam masyarakat. Kultur dunia malam Indonesia adalah sasaran yang mudah untuk diselubungkan dengan citra negatif. Pengikutnya seringkali dianggap sebagai segerombolan anak muda yang hedonis dan penganut sekularisme dan yang perempuan hanyalah ‘lollipop barbie’. Sinetron menggunakan mereka sebagai target untuk diantagoniskan, menggambarkan kultur ini dimana orang-orang jahat berkumpul dan dimana kejadian buruk terjadi. Pendek kata, glamor itu salah, kesenangan adalah dosa. Banyak pengamat perilaku konsumen berteori bahwa ini adalah perlawanan masyarakat terhadap “the invisible hand”: kekuatan yang memegang pasar.

DJs on deck at CentroKita bisa melihat adanya sebuah kontradiksi: di satu sisi mereka dieksploitasi oleh industri sebagai orang yang ‘cool’, sukses, gambaran konsumen masa kini; di sisi lain, dicap oleh masyarakat sebagai hedonis, penganut seks bebas dan orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Yang ironis dari anggapan ini adalah terasa hambarnya pengakuan bahwa kultur dance di Indonesia adalah indikasi kuat dari apresiasi musikal itu sendiri dan kompetensi profesional yang bergerak di bidang ini juga seringkali diabaikan.

Tidak banyak orang -bahkan clubber sendiri- menyadari sistem yang ada dalam pekerjaan semacam ini; sama seperti sistem yang ada dalam dunia industri, kultur ini juga memiliki berbagai variasi pekerjaan, etika dan politiknya. Dari sudut pandang intelektual, kultur ini diharapkan mempunyai kesadaran tinggi terhadap teknologi, yakni memahami teknologi untuk setiap kebutuhan (proses mixing, visualisasi, teknik pencahayaan, dan lain-lain) dan kebutuhan lainnya yang juga disesuaikan dengan standar internasional. Tidak lupa kemampuan untuk mendatangkan keuntungan secara finansial dari segala aspek. Ada juga pihak yang berhasil menciptakan kerjasama global, seperti membawa kompetisi internasional ke tingkat lokal, membuat rekaman dengan label internasional (contoh: Romy, Altuna, Innerlight), belum lagi banyaknya DJ asal Indonesia yang tampil di negara lain, seperti Singapura, Malaysia, Afrika Selatan dan China.

Walaupun kultur ini berslogan “Support Your Local DJ” bahkan pada level global, usaha dari penikmat dance Indonesia untuk mempromosikan sisi positif kultur ini seringkali diabaikan, bahkan lebih buruk lagi, diremehkan. Ironisnya, hal ini juga datang dari clubber sendiri. Kultur ini mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kuantitas, dan pelakunya menyadari betul bahwa berbicara tentang idealisme musik tidak akan membuat orang memesan dua gelas Long Island atau sebotol Chivas. Mereka tahu konsekuensi mereka di bisnis ini dan mereka harus menghitung angka sedemikian rupa. Mengetahui bahwa kuantitas akan mendatangkan keuntungan lebih, serta-merta mereka pun selalu terkurung dengan citra negatif tersebut. Jadi apa yang dapat mereka lakukan?

Stigma antagonistik ini tentu saja terjadi karena sebuah alasan dan pengikut kultur ini cukup realistis tentang situasi ini. Mereka bahkan mengakuinya ke depan publik: Ya, kami memiliki isu seks bebas dan penggunaan narkoba. Namun di sisi lain, hal ini pun menjadi sesuatu yang biasa dan diterima sebagai justifikasi sosial, bahkan suatu kebutuhan sosial. Namun sepertinya pengikut kultur ini tidak dilibatkan atau diperbolehkan untuk memusingkan isu seperti di atas, satu-satunya yang mereka ‘berhak’ pusingkan adalah razia oleh aparat.

Ini adalah sebuah gambaran yang lebih besar, saya bertanya ke seorang DJ ternama apakah mungkin jika DJ lokal bekerjasama dalam mempromosikan dance culture yang lebih positif dan lebih ‘bersih’. Dia berkata bahwa dia sendiri ingin melakukan hal itu, tetapi masalahnya adalah dia dan DJ lain tidak ingin terdengar munafik untuk sesuatu yang bukan menjadi masalah mereka, dan mereka juga tidak ingin kehilangan audiens mereka hanya karena resiko itu.

Selanjutnya, saya menganalisa pendapat-pendapat lain dan akhirnya menyimpulkan: perhatian para DJ ini adalah musik mereka (dan penikmatnya), bukan pada moral dalam masyarakat. Sayangnya, apa yang dianggap moral dalam masyarakat telah memposisikan mereka dengan penilaian satu sisi yang negatif.

Cukup masuk akal. Jika saya adalah pelaku bidang ini, saya pun akan berpendapat hal yang sama.

Tidak dapat dihindari, komunitas kultur ini semakin apatis dan acuh menghadapi keberadaan mereka di komunitas yang lebih besar, yakni masyarakat umum. Mekanisme defensif yang berulang-ulang mulai terdengar seperti kaset rusak. Untuk alasan ini pun mereka menjadi lemah dalam menangani citra mereka sendiri di muka publik.

Jika ada suatu usaha yang harus dilakukan, bukanlah dengan memancing reaksi negatif dan prasangka buruk terhadap situasi ini. Suka atau tidak, sekian ribu clubber muda tersebut menghadapi sindikat kejahatan secara langsung yang mereka tidak dapat kontrol atau musnahkan — dan untuk menghilangkan pengaruhnya berarti melakukan perubahan total pada aspek psikologis, sistem ekonomi dan pendidikan di negara ini. Suatu hal yang sangat sulit.

Pemecahan terbaik adalah dengan memperlihatkan pada masyarakat mengenai hadirnya para pekerja keras, kreatif dan profesional muda yang konsisten di balik scene ini: dimana orang-orang ini dapat menginformasikan dan menginspirasikan kepada suatu generasi bahwa hidup adalah tentang mengambil kesempatan, berusaha secara nyata, bekerja keras dan membuat pilihan yang tepat.

Tidak ada komentar: